KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
          Saat ini semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Pengertian mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi ada kesempatan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.
          Pangkat dan kedudukan di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran banyak yang mencalonkan diri menjadi pejabat ekskutif maupun legislatif dan sebagainya sebagai impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, artis bahkan sampai kepada kondektur bus dan tukang ojek.
           Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.

A. Kepemimpinan dalam Islam
     Kepemimpinan itu wajib ada, baik secara syar’i ataupun secara ‘aqli. Adapun secara syar’i misalnya tersirat dari firman Allah tentang doa orang-orang yang selamat : “Dan jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” [QS Al-Furqan : 74]. Demikian pula firman Allah : “Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan para ulil amri diantara kalian” [QS An-Nisaa’ : 59]. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal : “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya”. Terdapat pula sebuah hadits yang menyatakan wajibnya menunjuk seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang yang melakukan suatu perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan rusak dan porak poranda.
          Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah SWT, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Adapun Beberapa Ayat Yang Menjelaskan Tentang Kepemimpinan

Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ 
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasûl(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasûl (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisâ’/4:58-59]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ
"Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat"
       Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kalian untuk menunaikan berbagai amanat yang diserahkan kepada kalian untuk ditunaikan kepada yang berhak. Amanat adalah semua yang diamanahkan kepada seseorang dan diperintahkan untuk melaksanakannya. (Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk menunaikan amanat dengan sempurna tanpa dikurangi dan ditambah-tambahi. Yang termasuk dalam pengertian amanat ini adalah kekuasaan, harta, rahasia dan segala yang diperintahkan yang hanya diketahui Allâh Azza wa Jalla (banyaknya-red). 
 Para ahli fikih menjelaskan bahwa setiap orang yang diberi amanat, wajib menjaganya di tempat penjagaan sesuai dengan amanat tersebut. Mereka menyatakan, karena amanat tidak mungkin ditunaikan kecuali dengan menjaganya. Oleh sebab itu, menjaga amanat hukumnya wajib.

Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِلَى أَهْلِهَا
"kepada yang berhak menerimanya"

Menunjukkan bahwa amanat tidak boleh diberikan atau tidak boleh diserahkan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya (atau wakilnya-red) karena wakil dari orang itu sama dengan orang yang diwakilinya. Seandainya amanah tersebut diserahkan kepada yang tidak berhak berarti dia tidak disebut sebagai orang yang telah menunaikan amanah (meskipun faktanya amanah itu telah dijaga dan diserahkan).
Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
"dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil."

            Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita semua untuk bersikap adil dalam memutuskan urusan manusia. Perintah mencakup penetapan hukum pada darah (nyawa), harta dan kehormatan seseorang, baik sedikit ataupun banyak, baik untuk kerabat ataupun orang lain, orang yang baik atau fajir (jahat) serta teman ataupun musuh.
Yang dimaksud dengan adil yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan dalam memutuskan sebuah hukum adalah semua yang Allâh Azza wa Jalla syariatkan melalui Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam berupa had dan hukum-hukum. Ini berarti menuntut kita untuk mengetahui keadilan (syari’at-red) itu sendiri agar bisa berhukum dengannya.
Karena semua syari’at ini merupakan perintah yang baik dan adil, maka Allâh Azza wa Jalla berfirman:
                                                إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا 

"Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [An-Nisâ’/4:58]"

Ini merupakan pujian dari Allâh Azza wa Jalla terhadap perintah-perintah dan semua larangan-Nya, karena perintah dan larangan-Nya mencakup semua kemashlahatan dunia dan akhirat serta untuk menolak mafsadat di dunia dan akhirat. Karena pembuat syariatnya (yaitu Allâh Azza wa Jalla –red) adalah Dzat yang maha mendengar dan maha melihat, yang tidak ada satupun yang luput dari-Nya dan Allâh Azza wa Jalla maha mengetahui kemaslahatan hamba yang tidak diketahui oleh hamba yang bersangkutan.

Firman Allâh Azza wa Jalla :
                                                                                                     
     يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
"Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasûl(-Nya),"

Wahai kaum Mukminin laksanakanlah semua perintah Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauhilah semua larangannya.

Firman Allâh Azza wa Jalla 
   وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
"dan ulil amri di antara kamu."

Ulûl Amri  adalah semua yang memiliki kekuasaan syar’i, seperti para Ulama dan umara’ (pemerintah) dan yang dimaksud adalah perintah dan larangannya dalam rangka mentaati Allâh Azza wa Jalla dan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam .

Firman Allâh Azza wa Jalla
       فِي شَيْءٍفَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
                  "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu"

Apabila kalian berbeda pendapat dan berselisih baik diantara kalian atau antara kalian dan ulil amri.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

    إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
"jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian."

Jika kalian beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari pembalasan. Ini menunjukkan bahwa merujuk kepada al-Qur`an dan Sunnah dalam semua perselisihan termasuk syarat iman kepada Allâh dan hari akhir.
  

Firman Allâh Azza wa Jalla
 ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
"Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." 

Berhukum kepada al-Qur`an dan Sunnah tersebut lebih baik untuk kalian dan lebih bagus dan indah akibatnya, karena hukum Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya adalah hukum terbaik, teradil dan paling maslahat buat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka serta lebih baik akibatnya bagi mereka

Oleh karena itu Syaikh Abdurrâhmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar (kaum Muslimin-red) mentaati Allâh Azza wa Jalla  dan mentaati Rasûl-Nya. Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah keduanya, baik perintah yang wajib maupun yang sunnah serta menjauhi apa yang dilarang. Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan untuk mentaati ulil amri yaitu mereka yang memiliki kekuasaan pada masyarakat seperti para penguasa, pemerintah dan para Ulama yang memberikan fatwa. Urusan agama dan dunia ini tidak akan baik kecuali dengan mentaati dan tunduk kepada mereka sebagai wujud ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala-Nya. Namun dengan syarat, (kewajiban taat itu berlaku selama-red) mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka menyuruh melakukan yang maksiat, maka tidak boleh ada ketaatan sama sekali pada makhluk dalam kemaksiatan kepada sang Pencipta. Sepertinya, inilah rahasia, mengapa kata kerja perintah dihapus ketika Allâh Azza wa Jalla memerintahkan taat kepada ulil amri dan Allâh Azza wa Jalla menyebut kata kerja perintah tersebut ketika menyuruh taat kepada Rasûl, karena Rasûl tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan siapa yang mentaatinya maka telah mentaati Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan ulil amri,  maka kaum Muslimin diperintahkan untuk mentaati mereka dengan syarat tidak dalam kemaksiatan.

Kemudian Allâh Azza wa Jalla memerintahkan (kaum Muslimin-red) untuk mengembalikan perselisihan yang terjadi, baik dalam masalah ushul ataupun cabang agama kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasûl-Nya, yaitu kepada al-Qur`an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam . Keduanya berisi pemutus seluruh masalah khilafiyah, …. sebab al-Qur`an dan as-Sunnah adalah tiang bangunan agama dan iman seseorang tidak akan lurus atau tidak akan benar kecuali dengan keduanya.

Jadi, mengembalikan perselisihan kepada keduanya merupakan syarat keimanan. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
                                                 إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ 
"Jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian."

Penggalan firman Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada keduanya berarti sejatinya, dia bukan seorang Mukmin.


 1. Khalifah
Khalifah (bahasa Arab: خَليفة‎; khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk penerus Nabi Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut kekhalifahan atau Khilafah (bahasa Arab: خِلافة‎; khilāfah). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah amīr al-mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang-orang yang beriman", meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah.
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan di masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: Kekhalifahan Rasyidin (632–661), Kekhalifahan Umayyah (661–750), Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 dan 1261–1517), dan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924).
Kekhalifahan dimulai seiring diangkatnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya Nabi Muhammad pada tahun 632. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad, dikelompokkan sebagai Khulafaur Rasyidin atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai bentuk awal demokrasi Islam.
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Kesultanan Mamluk. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan."

2. Al-Imamah
Imamah menurut bahasa artinya kepemimpinan. Imam artinya pemimpin. Imam juga disebut khalifah, yakni penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam bisa juga digunakan untuk Alquran, karena Alquran adalah imam (pedoman) bagi umat Islam. Imam juga bisa digunakan untuk Nabi Muhammad, karena beliau adalah pemimpin para pemimpin, yang ajarannya diikuti oleh seluruh pemimpin. Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya. (Ali as-Salus, Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, h. 15)
Di dalam Alquran tidak disebutkan kata imamah, yang ada adalah imam (pemimpin) dan aimmah (para pemimpin). Misalnya, “Allah berfirman (kepada Ibrahim), ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.’” (QS Al-Baqarah: 124).
 Kemudian, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (QS Al-Anbiya: 73)

3. Ulil Amri                                 
Ulil Amri adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengurus kepentingan-kepentingan umat. Ketaatan kepada Ulil Amri (Pemimpin) merupakan suatu kewajiban umat, selama tidak bertentangan dengan nash yang zahir. Adapun masalah ibadah, maka semua persoalan haruslah didasarkan kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Ulil Amri atau Pemimpin sifatnya kondisional (tidak mutlak), karena betapa pun hebatnya Ulil Amri itu maka ia tetap manusia yang memiliki kekurangan dan tidak dapat dikultuskan. Jika produk dari Ulil Amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya maka wajib diikuti, sedangkan jika produk Ulil Amri itu bertentangan dengan kehendak Tuhan maka tidak wajib ditaati. Dengan demikian, model keataatan kepada Ulil Amri itu terlaksana, jika ia menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya jika tidak, maka ketaatan itu dengan serta merta tidak mesti adanya.

4. Wali
Walī (Bahasa Arab:الولي, Wali Allah atau Walīyu 'llāh), dalam bahasa Arab berarti adalah 'seseorang yang dipercaya' atau 'pelindung', makna secara umum menjadi 'Teman Allah' dalam kalimat walīyu 'llāh. Al Qur'an menjelaskan Waliallah memiliki arti orang yang beriman dan bertakwa. “Ingatlah sesungguh wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yg beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus 10:62 - Al-Furqan dalam kitab Majmu’atut Tauhid hal. 339)
Dari Abu Hurairah ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Kata ‘wali’ bila ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata ‘al-wilayah’ yg arti adl ‘kekuasaan’ dan ‘daerah’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sikkit, atau terambil dari kata ‘al-walayah’ yg berarti pertolongan. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi ia bukan seorang nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama di antara para nabi adalah para rasul, yang paling utama di antara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama di antara Ulul ‘azmi adalah Muhammad. Maka para wali Allah tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah.

B.      Prinsip Atau  Konsep Dasar Kepemimpinan Dalam Islam
Sebagai  agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur’an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah) Al-‘adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma’a Mas’uliyah (kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.

 1. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca: pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak ke arah satu kesatuan akidah di atas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur’an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa’ 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.

  2. Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. 2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas.  3. keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa “demokrasi tidak identik dengan syuro” walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. “apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya” Kedua: musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat, termasuk di dalamnya dalam hal berorganisasi. 

Hal ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. “bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.  meskipun terdapat beberapa Al-qur’an dan As-sunnah yang menerangkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur’an telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci , nampaknya hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.

3. Prinsip Keadilan (Al-‘adalah)
Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-sulthoniyahnya memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur’an, kata al-‘Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama.  pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak menbeda-mbedakan satu sama lain.  Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur’an surat an-Nisa’ 58. “Apabila kamu memutuskan suatu perkara di antara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil”. Kedua: adil dalam arti seimbang.

 Di sini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal  ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan al-Qur’an dalam surat al infithar 6-7 dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki sesuatau di sisinya. Jadi, system pemerintahan Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di depan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.

 4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan al-Qur’an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan di sini juga kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.

C. Dasar- dasar Konseptual Dalam Kepemimpinan Islam
a.       Pendekatan Normatif
Dasar konseptual kepemimpinan Islam secara normative bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis yang terbagi atas empat prinsip pokok yaitu:
1.       Prinsip tanggung jawab dalam organisasi.
2.       Prinsip etika tauhid.
3.       Prinsip keadilan.
4.       Prinsip kesederhanaan.

      b.      Pendekatan Historis   
Al-Qur’an begitu kaya dengan kisah-kisah umat masa lalu sebagai pelajaran dan bahan perenungan bagi umat yang akan datang.

Dengan pendekatan historis ini diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki sifif sidiq, fathonah, amanah, dan lain sebagai syarat keberhasilannya dalam memimpin.

Kisah-kisah dalam Al-Qur’an, hadis, sirah nabawiyah, sirah shahabah telah membuat pesan-pesan moral yang tak ternilai harganya.

Dan sejarah yang obyektif akan bertutur dengan jujur tentang betapa rawannya hamba Allah yang bernama manusia ini untuk tergelincir ke dalam lautan dosa, tidak terkecuali seorang nabi sekalipun tetap bias tergelincir karena khilaf.

c.       Pendekatan Teoritik
Hal ini mengandung arti walaupun dasar-dasar konseptual yang ada di dalam bangunan ideology Islam sendiri sudah sempurna, namun Islam tidak menutup kesempatan mengkomunikasikan ide-ide dan pemikiran-pemikiran dari luar Islam selama pemikiran tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasalam.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Dan Tipe Kepemimpinan Autokratis, Faternalistik, Militeristik, Demokratis dan Karismatik

Tugas Teori-Teori Kepemimpinan